Minggu, 05 April 2009

list terakhir (cerpen)

Wanita di List terakhir

Khadijah tercenung lama. Biodata seorang ikwan masih ada digenggamannya. Ternyata setelah sekian lama mencoba merintangi kehadiran lelaki dengan berbagai syarat, ada juga yang sanggup memenuhinya. Sebenarnya syarat mesti hafal qur’an sebanyak yang dia hafal bukanlah hal yang berat, saat ini dia ‘baru’ hafal 5 juz, itukan belum separuh qur’an, seperempatnya pun tidak, hanya seperenam malah. Sebenarnya yang berat dari persyaratan itu adalah lelaki itu mesti bujangan. Akan sangat sulit bagi seorang bujangan meminang gadis yang hampir empat puluh tahun. Dan sekarang pemuda berusia dua puluh lima tahun berminat untuk melamarnya. sementara penantian akan jodoh serasa telah lewat masa kadaluwarsa.

“ Afwan Ustadzah saya hanya berminat dengan yang bujangan” begitu tolak Khadijah halus, saat ustadzah menawarkan seorang calon. Bagi dia menjadi istri kesekian bukanlah pilihan.

“Afwan ustadzah sebaiknya jangan pegawai negeri” begitu tampiknya.

“ Takutnya saya tidak cocok dengan anak-anaknya, Ustadzah, saya kan keras” ketika dia disodorkan dengan seorang duda beranak.

“ Hafalannya bagaimana?” tanyanya retoris mendapat tawaran bujangan seusia dengannya. Terimakasih Ukhti, kita bisa bersaudara tanpa harus menjadi madu” tolaknya tegas. Bukan tak setuju poligami, tapi kayaknya janda Aceh lebih layak ditolong desisnya dalam hati. Ide tentang poligami karna lebih banyak Akhwat dibanding Ikwan terlalu menyederhanakan masalah. Toh masih banyak Ikhwan yang belum diberdayakan.

Tak disadari oleh ustadzahnya bahwa syarat-syarat yang dia ajukan hanyalah untuk melindungi hatinya dari luka. Khadijah benci dengan pengunduran diri pasca taaruf. Berapa banyak lelaki yang datang saat itu namun setelah berkenalan mereka mundur teratur entah mengapa. Mungkinkah karena parasnya yang kurang rupawan? Mungkin karena keberhasilan bisnisnya?

Terkadang Khadijah merasa tak punya tempat untuk lelaki di belahan bumi ini. Di lingkungan dakwah, di tempat dimana seharusnya sesuatu yang lahiriah tidak mengambil peranan, ternyata hal ini bisa pula terjadi. Ini hanya lanjutan dari kisah SMA-nya. Betapa menyakitkan masa SMA dulu. Dia dikenal dengan Si Cerdas yang buruk rupa. Walaupun dia cerdas, guru-guru dan teman-teman lelaki tak pernah menganggap itu sebagai kelebihan. Nampaknya mereka lebih suka memperhatikan wanita-wanita elok yang menghidupkan suasana kelas. Mungkin mereka mengganggap wanita cerdas yang tidak rupawan adalah kombinasi menakutkan.

Beruntung Khadijah menemukan busana takwa, yang menariknya dari gadis di bawah rata-rata menjadi gadis rata-rata. Sepertinya jilbab memang buat Khadijah. Walau ternyata cerita tentang kriteria pemilihan wanita berdasarkan rupa masih berlanjut. Nampaknya lelaki shalih pun memasukkan kriteria kecantikan sebagai sunah nabi untuk memilih istri idamannya. Khadijah tak pernah suudzon dengan pilihan para lelaki shalih , Fatimah memang lebih cantik walaupun kalah cerdas dari dia di Ma’had itu. Terlalu cantik malah buat ustadz yang mengkhitbahnya (astagfirullah afwan ustadz) sehingga Fatimah merasa perlu cadar untuk menutupi kecantikannya.

Sepertinya Khadijah harus siap menjadi wanita terakhir di list lelaki manapun. Hanya saja Khadijah lebih siap dalam urusan hati ketika bergelut di lingkaran jamaah ini. Tak ada prasangka hanya sedikit luka. Dan dia berharap luka itu tak akan kian menganga dengan peristiwa pengunduran lelaki yang mendekatinya.

Lepas SMA dia diterima di jurusan Akuntansi Universitas Pajajaran. Pengalamannya mengajarinya untuk belajar keras secara mandiri. Tak ada bantuan yang berarti untuk perempuan dengan wajah rata-rata. IPK-nya di atas Tiga koma lima. Tidak puas dengan waktu luang dia pun sanggup tenggelam dalam berbagai kegiatan. Namun saat tugas akhir dia kurang bersemangat. Kecerdasannya tak membuatnya cepat-cepat menyelesaikan kuliahnya, inginnya dia sedikit menenggang waktu buat pertanyan yang sering dilontarkan “ kapan menikah ?“. Ya itu sebenarnya pertanyaan Khadijah, “kapan menikah ?”, “ kapan aku seperti teman ngajiku?”. Namun akhirnya di tengah ancaman DO diapun menyelesaikan kuliahnya. Sementara bisnis yang dia bangun pun kelihatan hasilnya.

Betapa Khadijah dengan lukanya telah sanggup menjadi wanita yang tegar, cerdas, shalihat, sabar dan dermawan. Pengalamannya dalam berorganisasi membuatnya dia terampil dalam berbisnis. Kenalannya yang banyak membuat bisnisnya cepat maju. Bisnisnya yang maju tak membuatnya kikir. Disantuni anak-anak yatim dan putus sekolah. Disumbangkannya setengah hartanya buat jalan dakwah. Dia hadapi hidupnya dengan sabar dan tabah.

Satu persatu teman ngajinya menikah. Tak ada istilah first in, first out, bahkan juniornya telah mendahuluinya. Saat Khadijah menjadi pembina diapun telah beberapa kali berhasil mempertemukan anak binaannya dengan jodohnya. Dikeluarganyapun dia dilangkah oleh ketiga adiknya.

Dan kini tawaran datang saat hatinya begitu ikhlas dengan kesendirian. Ketenangannya telah diguncang oleh Ahmad, lelaki yang lima belas tahun lebih muda darinya.

***

Adalah ahmad mantan seorang playboy yang bertobat. Wajahnya yang rupawan tak dapat disembunyikan. Di keningnya nampak tanda hitam, di pipinya samar terlihat garis airmata, dan ditepinya jambang yang bertemu jenggot hitam kemerahan.

Masalalunya yang kelam membuat dia sanggup menangis tersujud berlama-lama di ujung malam. Memohon ampunan atas dosa yang telah dilakukan. Betapa wajah rupawan telah menjerumuskan dia ke dalam kehinaan. Setiap surat dari juz amma yang dia lantunkan membuat dadanya sesak dan perih. Adakah syurga untukku ketika neraka terasa tak berjarak.

Dia mengerti kecantikan lahiriyah bukanlah segalanya. Pengingkarannya terhadap kecantikan yang kasat mata telah membawa desir hatinya pada Khadijah.

Sejak ustadz memberikan biodata Khadijah, dadanya membuncah harapan. Inilah wanita yang akan membuatnya menapaki syurga. Ustadz pun bertasbih setelah sekian lama Ahmad menolak biodata yang disodorkan. Padahal ustadz telah menempatkan Biodata Khadijah di urutan terakhir. Andai saja dia tahu betapa selera tak mesti sama, mungkin dia tak perlu menerima variasi penolakkan dari anak binaannya.

“ Afwan ustadz jangan terlalu cantik “ begitu pintanya suatu ketika

“ Qowy ustadz?, Kalau nggak afwan ana nggak yakin bisa membimbingnya” dia menolak halus di saat lain.

Namun dengan Khadijah dia merasa ada chemistry dia merasa sekufu. Ketika ditanya masalah usia dia menegaskan.

“ Insya Allah sesuai sunah rosul, dua lima empat puluh, ustadz” katanya mantap

Dia pun tidak minder dengan kekayaan Khadijah. Walaupun belum punya pekerjaan tetap namun dia tetap giat bekerja. Toh diapun anak orang kaya dan dengan kecerdasannya dia sanggup memutar modalnya menjadi berlipat dua.

“Insya Allah ana akan merintis multimedia islami ustadz” jawabnya yakin.

Keluarganya senang mendengar Ahmad berniat menikah. Setelah pacarnya yang hamil bunuh diri, keluarganya menyangka Ahmad tak akan punya keberanian untuk menikah. Walaupun agak kecewa dengan pilihannya, wanita yang lebih tua dan tidak rupawan, keluarganya merelakannya.

***

Apa yang salah sebenarnya dengan kesendirian. Tak pernah Khadijah merasa sepi dengan kesendiriannya. Anak-anak asuhnya yang kian banyak sanggup melupakannya tentang kesendiriannya. Bukan niatnya untuk melajang, namun jodoh tak kunjung datang. Ada yang datang bermodalkan keberanian, namun surut dengan keberhasilannya. Ada yang datang dengan modal harapan, namun layu ketika melihat wajahnya. Tak ada yang salah dengan kesendirian, ini bukan niatan namun mungkin suratan. Namun suratan nampaknya membuat dia harus menerima Ahmad.

“ Baik ustadz insya Allah saya terima” jawab khadijah tegas namun tak sanggup menyembunyikan rona wajanya yang memerah.

Setelah istiharoh yang melelahkan, diskusi-diskusi yang panjang sampai analisa SWOT segala, akhirnya dia berketetapan hati untuk menerima pinangan Ahmad. Tak ada yang perlu ditakutkan dengan niat baik dan cara yang baik Insya Allah semua bisa dilaksanakan. Tak ada yang salah dengan lelaki lebih muda, tampan dan cerdas. Jangan salahkan dia kalau juga anak orang kaya.

***

Hari bahagiapun tiba. Teman-teman Khadijah begitu antusias dengan pernikahan ini. Sepertinya ini adalah jawaban dari do’a kolektif mereka. Doa mereka telah dikabulkan, agar khadijah mendapatkan jodohnya. Bahkan secara lahir Khadijah telah mendapatkan suami paling rupawan di antara mereka. Ah betapa tak terduganya takdir. Adat jawa dengan balutan syar’i telah dipersiapkan dalam prosesi ini. Khadijah dengan wajah pias menunggu bersama ibunya, Hajjah Aminah. Sementara Ahmad dan ayah Khadijah, Haji Manaf, telah bersiap untuk berijab-kabul.

Dengan tegar dan lancar Ahmad berjanji jabatan tangannya keras menggenggam tangan Haji Manaf. Disambut takbir para hadirin janjipun telah tertunai. Ketika sighat Taklif Ahmad berdiri menghadap hadirin, berbeda dengan kelaziman orang, meyakinkan kepada para hadirin tentang janjinya sebagai suami. Ahmad berjanji seperti Gajah Mada yang bersumpah palapa. Semua yang mendengar janji itu merasa terharu, Aisyah adik bungsu Khadijah tergugu disamping suaminya. “ Barakallah ya ukhti” gumamnya.

Setelah akad nikah itu, Haji Manaf menarik nafas Lega, serasa beban yang selama ini menghimpitnya lepas sudah. Tersungging senyum simpul walau matanya berkaca-kaca. Namun senyum itu sirna ketika terdengar jerit dari balik hijab, jerit Bu Hajjah Aminah yang terdengar begitu panik. Ternyata Khadijah pingsan. Mungkin fikiran tentang pernikahannya telah menguras energinya. Khadijah dilarikan ke rumah sakit. Namun takdir telah menggariskan Ahmad untuk menjadi duda sebelum malam pertama. Keluarga Khadijah diliputi duka. Orang-orang berbisik kasihan Khadijah… Kasihan Ahmad… Tak ada yang tahu, Khadijah telah ditunggu lelaki syurga. Tak ada yang sepadan buat Khadijah disini dan sejenak Ahmad telah mendapat kehormatan untuk berjanji di depan wanita mulya itu. Ahmad diam terpaku dengan bening airmata mengalir di pipinya dan suara hatinya bergema “Ya Allah semoga bukan karena kehinaanku aku tak dapat bersanding dengannya”.

1 komentar:

  1. af1 akhi sebaiknya pengarang aslinya dicantumkan terimakasih.

    BalasHapus